Demokrasi
berawal dengan seorang buruk muka yang dipukul punggungnya. Namanya Thersites,
tokoh yang tak banyak dikenal dalam puisi Iliad karya Homeros dari sekitar abad
ke-9 Sebelum Masehi. Dalam kisah para raja dan pangeran yang membawa ribuan
prajurit untuk berperang mengalahkan Kota Troya ini Thersites dilukiskan
sebagai ”lelaki paling jelek” dalam pasukan. Kakinya lemah sebelah, pundaknya
melengkung, rambutnya tinggal beberapa helai di ubun-ubun. Tapi yang
menyebabkan ia dicatat dalam Iliad adalah ”lidahnya yang tak terkendali”. Ia
mengecam mereka yang berkuasa.
Pada
suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai, Thersites mendamprat
Raja Agamemnon. ”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”sekarang apa
yang membuat diri tuan tak terpuaskan, apa lagi yang tuan inginkan? Tenda tuan
penuh dengan logam berharga dan perempuan jelita, sebab tiap kali kami
taklukkan kota kami persembahkan jarahan itu kepada tuan.” Thersites tampaknya
adalah suara yang lelah perang, yang merasa bahwa orang bawahan macam dia hanya
menanggungkan rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang raja: ”Tuan tak berbuat
baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan perintah jadi sengsara.”
Ketika
Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru kepada sejawatnya: ”Marilah kita
berlayar pulang, dan tinggalkan orang ini di Troya”. Mendengar itu, salah
seorang sekutu Agamemnon, Odysseus, mendatanginya. Raja Ithaca ini marah. ”Jaga
mulutmu, Thersites! Jangan kau ngoceh lebih jauh. Jangan kau cerca para
pangeran bila tak ada yang mendukungmu…” Dan Odysseus pun memukulkan tongkat
keemasannya ke punggung Thersites. Laki-laki itu tersungkur, bengkak dan
berdarah. Tapi orang-orang tak menolong Thersites; mereka malah menertawakannya
ketika si mulut tajam itu menangis kesakitan…
Sejarah
demokrasi mendapatkan perumpamannya dalam kisah orang yang dipukul dan
ditertawakan itu. ”Demokrasi,” kata Rancière dalam 10 tesisnya tentang politik,
”adalah istilah yang diciptakan oleh musuh-musuhnya.” Kata demos bermula
sebagai ejekan bagi yang tak ”punya kualifikasi” memerintah. Menurut Rancière,
dari tujuh axiomata atau syarat-syarat memerintah yang disusun Plato ada empat
yang bersifat alamiah, semuanya berdasarkan kelahiran. Maka yang tua punya
dasar untuk berkuasa atas yang muda, majikan atas hamba, bangsawan atas petani.
Plato juga menyebut syarat kelima: kekuasaan yang kuat atas yang lemah, dan
syarat keenam: kekuasaan mereka yang punya pengetahuan atas mereka yang tidak.
Pada
mulanya, kata demos memang mengacu ke ”mereka yang tak berpunya”. Rakyat, atau
demos, dengan demikian bukanlah himpunan tertentu satu kelompok penduduk.
Rakyat adalah pelengkap penyerta justru dalam arti mereka tak bisa serta.
Rakyat adalah siapa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, himpunan yang
tak masuk hitungan, le compte des incomptés. Ada yang paradoksal di sini: di
satu pihak, rakyat melengkapi bangunan kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di
luarnya. Dalam paradoks itulah sebagai pelengkap, mereka yang tak masuk
hitungan itu dibutuhkan. Tapi ketegangan terjadi ketika pada saat yang sama
mereka ditampik dan pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan
mana yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak.
Maka
kini kita lebih dekat ke Thersites ketimbang ke Odysseus. Tapi ini juga karena
kita (bersama Thersites) tak tahu apa sebenarnya yang hendak dicari orang macam
Agamemnon. Kita hanya tahu, Perang Troya yang bertahun-tahun itu bermula karena
istri sang raja melarikan diri ke pelukan orang lain. Pada mulanya adalah
ego-yang akhirnya menentukan segalanya. Hanya dengan kebrutalan yang luar biasa
proses itu bertahan. Dalam arti itu, kisah Homeros bukanlah sebuah epos, tapi
sebuah tragedi, sebuah kisah kekuasaan yang gila dan ganjil, di mana seorang
Thersites tak bisa serta, tak mau serta.
Di
bumi Aceh, Serambi Mekkah, kita tak harus memukul punggung seorang Thersites,
atau seorang Rabusin, atau seorang Daud bila
tak mau serta dalam arus kekuasaan yang tak logika, tak sejalan, tak sepaham.
Sebab demokrasi adalah keniscayaan, pengejawantahan bhineka tunggal ika,
sekecil apapun, selemah apapun. Semoga.
Penulis
: Erwin Selian
Posting Komentar