Banyak
masalah persaingan usaha yang tidak sehat sehingga terjadi monopoli oleh
kelompok tertentu atau sebagai kartel dan mafia dalam kebutuhan hajat hidup
orang banyak yang seharusnya dikuasai atau dimonopoli oleh negara, ternyata
aturan perundang-undangannya masih memberi peluang terjadinya kartel, yang
justru merugikan rakyat, bangsa dan negara selama ini. Karena itu dibutuhkan UU
dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang kuat untuk mengendalikan
monopoli kartel tersebut.
“Kalau
monopoli atau penguasaan negara terhadap kebutuhan hajat hidup rakyat itu suatu
keharusan. Seperti listrik, gas, telekomunikasi, transportasi, air, sandang,
pangan, beras, minyak, gula dan sebagainya. Untuk itu diperlukan UU yang baik
dan KPPU yang kuat,” tegas Wakil Ketua Komisi VI DPR RI H. M. Farid Al-Fauzi
dalam acara forum legislasi ‘RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat’ bersama anggota Komisi VI DPR RI FPKS Refrizal, Komisioner KPPU
Muhammad Syarkawi Rauf, dan Direktur Eksekutif Institute Development of
Economics dan Finance (Indef), Enny Sri Hartati di Gedung DPR RI Jakarta,
Selasa (7/4/2015).
Menurut
politisi Hanura itu, selama ini juga terjadi tumpang-tindihnya aturan
persaingan usaha tersebut antara pusat dan daerah. Di mana aturan tentang
pendirian minimarket misalnya, di daerah sudah menjadi wewenang kepala daerah,
sehingga aturan dari pusat tidak berlaku di daerah.”Makanya Komisi VI DPR harus
menyelesaikan revisi dua UU, yaitu UU Nomor 5 tahun 1999 tentang persaingan
usaha dan RUU BUMN, juga perlunya KPPU yang kuat,” ujarnya.
Anggota
Komisi VI dari FPKS Refrizal mengakui jika UU Nomor 5 tahun 1999 tentang
persaingan usaha tersebut lahirnya bisa disebut terburu-buru karena pasca
reformasi di mana kita menginginkan sebuah UU, namun hasilnya masih memberi
peluang terjadinya KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Padahal, semangat dari
pembentukan UU itu adalah pemberantasan KKN itu sendiri.
“Masih
memberi peluang terhadap monopoli oleh asing, kartel, mafia, dan semacamnya
sehingga terkesan mengabaikan kepentingan nasional. Karena itu dibutuhkan KPPU
yang kuat dan jangan sampai KPPU menjadi alat untuk kepentingan asing. Sebab
itu, dengan revisi UU ini diharapkan usaha nasional bangkit dan mampu
mensejahterakan rakyat,” tambahnya.
Politisi
dari Dapil Sumatera Barat itu menyontohkan betapa kartel sangat diuntungkan
dengan misalnya menimbun 1000 Kg gula, kalau satu Kg-nya beruntung Rp 1.000,-
maka hanya salam seminggu mereka ini bisa mengantongi keuntungan Rp 1 triliun.
Belum lagi beras, minyak, BBM, dan sebagainya. “Jadi, dengan revisi UU ini agar
usaha nasional bangkit, dan tidak lalu melakukan privatisasi namun Indosat
dijual ke asing. Tarif PLN pun termahal di dunia, maka wajar ada temuan BPK ada
penyimpangan Rp 34 triliun,” ungkapnya kecewa.
Sementara,
Komisioner KPPU Muhammad Syarkawi Rauf merasa aneh dengan kebijakan Menhub
Jonan saat ini yang meniadakan tarif pesawat murah, sehingga jumlah penumpang
pesawat yang semula mencapai 70 juta kini turun 10 % menjadi 63 juta orang.
Padahal semasa Orde Baru hanya 3 juta orang, lalu naik menjadi 30 juta orang
dan sekarang 70 juta orang. Tapi, jumlah ini jauh lebih kecil dibanding Amerika
Serikat dengan penduduk 350 jutaan, penumpang pesawatnya mencapai 1,1 miliar
orang. “Berarti setiap orangnya mampu membeli 3 lebih tiket pesawat,” katanya.
Dengan
kondisi yang demikian menurut Syarkawi Rauf, maka kartel makin nyaman sekali.
Contohnya, ada perusahaan importir gula yang keuntungannya mencapai Rp 50
miliar, dan ketika melanggar hanya didenda Rp 1 miliar sampai Rp 25 miliar,
maka perusahaan itu tetap untung besar. Karena itu, KPPU menjadi strategis
untuk memperkuat persaingan perekonomian Indonesia.
Namun,
kata Enny Sri Hartati, kartel itu justru by design dan by regulasi, yaitu
akibat aturan perundang-undangan yang memungkinkan untuk melakukan kartel
tersebut. Karena itu revisi UU itu semangatnya adalah memberantas KKN. Apalagi,
ketidakmampuan membangkitkan perekonomian bangsa selama ini kuncinya adalah
KKN. “Bahkan kuota impor di Menteri Perdagangan (Mendag) ternyata masih
dikendalikan oleh kartel. Jadi, UU No.5/1999 itu masih memperkuat praktek KKN,”
tuturnya. (sc).
Posting Komentar